Nikah Siri, SAH
Sebenarnya nikah siri,nikah agama, nikah islami, nikah syar'i,
sepanjang syarat dan
rukun nikah terpenuhi maka pernikahan tersebut sah, baik menurut hukum
Islam maupun hukum positif (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan). Pernikahan siri yang dilaksanakan karena urusan nafsu pun
tetap dibenarkan oleh Syariat Islam karena justru dengan menikahlah
menyalurkan hawa nafsu dibenarkan. Dengan menikah maka suami maupun
istri sama-sama mempunyai hak harus dipenuhi dan sama-sama punya
tanggung jawab dan kewajiban yang harus dipenuhi pula.
Apabila suami tidak memenuhi tanggung jawabnya terhadap istri seperti
hanya menjadikan istri sekedar untuk menyalurkan hawa nafsu semata
tanpa menafkahi kebutuhan lahiriahnya maka hal itu bukanlah persoalan
nikah siri. Melainkan persoalan akhlak suami yang dzalim terhadap
istrinya. Kedzaliman seperti ini tidak hanya terjadi pada pasangan nikah
siri, tetapi juga pada pasangan nikah tidak siri atau pasangan
monogami.
Permasalahan yang ada pada nikah siri sebenarnya adalah terletak pada
pengakuan dan perlindungan hukum yang diberikan oleh negara.
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang -
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa :
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing - masing
agamanya dan kepercayaannya itu”. Kemudian, dalam Pasal 2 ayat (2)
menyebutkan : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”. Artinya, pernikahan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum agamanya. Adapun pencatatan perkawinan tidak
terintegrasi dalam Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Perkawinan tersebut,
melainkan terpisah pada klausul pasal yang berbeda yakni Pasal 2 ayat (2),
sehingga memiliki pengertian pernikahan menurut agama sah meskipun tidak
dicatatkan.